Rabu, 09 November 2011

MERDEKA UNTUK ASING


Bagaikan pembantu di rumah sendiri. Itulah realita yang saat ini terjadi di tatanan masyarakat Indonesia. Seakan perjuangan yang dilakukan para pendiri negara ini sia-sia semuanya. Semangat mereka untuk mengusir Jepang dan Belanda dulu, bahkan tidak menghasilkan kemerdekaan yang seutuhnya bagi rakyat. Sebab, walaupun Jepang dan Belanda sudah angkat kaki dari negara ini, namun asing tetap menguasai Indonesia sampai saat ini. Dan akhirnya orang asing yang lebih sejahtera di rumah kita sendiri.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan berpenduduk padat dengan bentuk pemerintahan yang belum matang secara politik, tentu tidak akan lepas dari perhatian negara-negara ataupun institusi-institusi ekonomi yang berlomba ingin menancapkan pengaruh hegemoninya. Apalagi negara-negara yang miskin akan sumber daya alam, mereka pasti salah satu penikmat sumber daya alam kita. Amerika Serikat misalnya. Negara ini telah menguasai ekonomi global sebesar 25%, dan menjadi salah satu negara yang menguasai perekonomian kita. Jika ditelusuri, saat ini banyak sumber daya alam kita dinikmati oleh orang asing. Sementara rakyat Indonesia relatif kecil kemungkinan dapat menikmati sumber daya alam tersebut.
Mengapa Bisa Terjadi?

Setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selanjutnya pada tanggal 26 April Tahun 2007, Undang- Undang Penanaman Modal yang baru di sahkan dan di tandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peraturan ini kemudian diundangkan melalui lembaran RI No. 67 Tahun 2007.

Lahirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut, melikuidasi dua undang-undang penanaman modal sebelumnya, yaitu : UU No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan UU N0. 6 Tahun 1968 Panaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sekaligus menetapkan suatu landasan yang sama bagi aktifitas penanaman modal asing dan dalam negeri.

Inilah alasan mengapa Indonesia di kuasai asing, sebab sebagian besar pasal dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 ini sangat berpihak pada kepentingan modal asing, seperti pasal-pasal yang berhubungan dengan : 1). Sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. 2). Pemberian berbagai macam hal istimewa kepada pihak asing melalu perjanjian negara. 3). Kemudahan memperoleh hak menguasai tanah dalam jangka waktu yang lebih panjang. 4). Kemudahan melakukan repartisasi dan kebebasan mentransfer keuntungan. 5). Pembebasan bea masuk impor barang modal (IGJ, 1 Mei 2008). Dukungan terhadap modal asing tersebut sangat berpotensi merugikan masyarakat Indonesia, pelaku usaha nasional dan bahkan pemerintah Indonesia sendiri.

Jadi sangat jelas bahwa ternyata pemerintah sangat melegitimasi penguasaan asing akan sumber daya alam kita melalui perundang-undangan yang di lahirkan. Menyerahkan sumber daya alam kita kepada negara asing adalah suatu kebodohan yang sangat besar bagi negara ini. Sebab, di tengah-tengah banyaknya rakyat miskin, bukannya kita manfaatkan untuk mencukupi kebutuhan kita, malah kita berikan negara asing menikmati sumber daya alam tersebut.

Penguasaan Asing dan
Kesengsaraan Rakyat
Sejak Berjayanya UU No. 25 Tahun 2007 yang di sahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, maka kita saksikan bagaimana asing mulai mengakuisisi sumber daya alam kita.
Per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing.

Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.Tidak hanya perbankan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar, hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing. Hal itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.

Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025 (Kompas,23/03/11).

Faisal Basri selaku pengamat ekonomi meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak dalam kondisi bubble. Namun sayang, kondisi ini lebih banyak dinikmati investor asing, dan saat ini sektor ekonomi dikuasai asing sebesar 70% (Kompas,19/7/11). Peranan asing mendominasi pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka, yang akhirnya rakyat yang mengalami kesengsaraan.

Ahli Geografi Ekonomi Kependudukan Abdur Rofi mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Daerah-daerah tersebut di antaranya Papua, Papua Barat, Aceh, dan Riau. Provinsi Riau, misalnya, menyumbang lebih dari 50 persen total produksi dan devisa minyak bumi. Namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong tinggi, mencapai 22,19 persen dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8 persen, di Papua 34,88 persen , dan di Aceh mencapai 20,98 persen (Kompas,07/03/11). Masih kah ada peluang rakyat untuk Indonesia hidup sejahtera?