Dua pekan jelang Idul Fitri adalah waktunya umat muslim membayar zakat fitrah kepada orang fakir dan miskin. Biasanya, di masjid-masjid dan mushala-musahala mulai dibentuk panitia amil zakat yang bertugas menghimpun pembayaran zakat dari masyarakat, baik berupa beras atau uang tunai, untuk kemudian disalurkan kepada kalangan yang berhak.
Selain membayar melalui amil, zakat fitrah kadang langsung diberikan kepada orangnya, tanpa perantara amil. Saya sendiri, karena punya tetangga yang tergolong miskin, langsung memberikan zakat kepada tetangga saya itu.
Kalau ada tetangga di sekitar Anda yang layak menerima zakat, harusnya jadi prioritas. Namun bila tidak ada, biarlah amil zakat yang akan menyalurkannya. Mau membayar lewat amil atau bayar langsung ke target, itu pilihan Anda. Yang salah adalah kalau kita nggak bayar zakat fitrah. Hehe.
Masalahnya, bila penerimaan zakat yang dibayarkan secara langsung itu melibatkan massa yang tidak sedikit. Hampir dalam setiap pembagian zakat selalu terjadi insiden orang terinjak-injak. Tak jarang karenanya banyak korban luka bahkan korban jiwa. Masih ingat insiden 21 orang tewas terinjak saat pembagian zakat oleh seorang hartawan di Pasuruan, Jawa Timur, September 2008 lalu? Hanya karena uang Rp 10 ribu, nyawa mereka melayang sia-sia.
Zakat merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang mesti ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dan menjadi salah satu tonggak berdirinya keislaman seseorang. Selain sebagai upaya membersihkan diri dengan mengeluarkan sebagian kekayaan untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak, tujuan zakat sebetulnya adalah untuk memuliakan kalangan papa dan tak berpunya.
Lewat zakat, Islam berupaya mewujudkan kesetaraan dan pemerataan distribusi ekonomi dalam masyarakat, mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan memberdayakan si miskin secara ekonomi sehingga hidupnya bisa mandiri. Zakat itu (harusnya) memuliakan dan membahagiakan.
Namun lewat pemberian zakat secara langsung, yang terjadi ialah penghinaan dan pelecehan terhadap si miskin. Hanya untuk sekantung beras dan beberapa lembar rupiah, orang-orang miskin ‘dipaksa’ untuk mengantri, berdesak-desakan, dan terinjak-injak. Di lain pihak, orang miskin pun ‘rela’ diperlakukan bagai hewan. Himpitan ekonomi telah membuat mereka kehilangan ‘martabat’. Mereka hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Lagipula bila mereka ditawarkan pilihan, anak mereka disekolahkan secara gratis menggunakan dana zakat, atau dana itu diberikan kepada mereka secara tunai, tentu opsi kedua yang dipilih. Tak heran, pembagian zakat massal tak pernah sepi peminat.
Pembagian zakat seperti ini juga kental akan kesan show, riya’, pamer. Bukankah dalam Alquran kita diperintahkan untuk tidak riya dalam memberi sedekah? Bukannya mendapat berkah dari membayar zakat, justru laknat didapat.
Kita semua berharap, para hartawan dan dermawan kita dapat menunaikan kewajibannya dengan lebih bijak. Kalau memang ingin merasa lebih ’sreg’ zakat itu tepat sasaran, antarkanlah zakat itu langsung ke rumah si penerima. Dengan begitu, si penerima merasa dimuliakan dan ‘dianggap’.
Alangkah lebih baik lagi, bila zakat itu disalurkan lewat lembaga zakat yang professional dan terpercaya. Dana zakat yang begitu besar dan potensial dapat didayagunakan secara lebih maksimal.
Selamat berzakat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar